TUGAS MATA KULIAH
SISTEM POLITIK
INDONESIA
TEORI HUBUNGAN MILITER DAN POLTIK
Dosen Pengampu : Nur Dewi Setyowati.S.Sos.M.Si
Disusun oleh :
AJI
SULISTYO 1632010005
BETSYBA
M. E.S 1632010013
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
PRODI ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS MERDEKA
MADIUN
2016
MADIUN
2016
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Melihat
perkembangan dunia perpolitikan di indonesia sejak
kemerdekaan hingga sekarang, tentu kita tidak bisa melepaskan peranan dan
keikutsertaan dunia militer didalamnya. Karena Sejak lahirnya kemerdekaan
indonesia sejak itu juga militer indonesia dibangun, bahkan setelah kemerdekaan
kekuatan militer pernah mendominasi dunia politik di indonesia. Salah satunya
dengan adanya Dwi Fungsi ABRI yang berlaku saat era rezim orde baru yang
merupakan bukti nyata bahwa kekuatan militer indonesia pernah berperan dalam
jalannya kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara. Untuk mengetahui
lebih dalam peranan dan keikutsertaan militer didalam
dunia politik indonesia maka kita harus membaginya menjadi tiga masa. yaitu
pertama, masa orde lama yang berada dibawah kepemimpinan soekarno yang
berlangsung dari tahun 1946 hingga tahun 1966 dimana pada saat ini TNI baru
membentuk dirinya sendiri dan awal keikutsertaannya di dalam dunia politik
militer. Beberapa peristiwa yang menjadi bukti TNI ikut berperan dalam dunia
politik di masa orde lama adalah peristiwa 30 September 1965. Kedua, masa orde
baru yang berlangsung selama 32 tahun dari tahun 1966 hingga tahun 1998 yang
berada dibawah kepemimpinan soeharto, pada masa ini kita dapat melihat betapa
kuat dan besarnya peran milter didalam dunia politik indonesia hal ini
dibuktikan dengan diberlakukannya Dwi Fungsi ABRI yang memberi peluang secara
terbuka untuk militer ikut serta di dalam dunia politik. Ketiga, Masa Reformasi
yang berlangsung dari tahun 1998 hingga sekarang dimana kita dapat melihat
sebuah titik balik perjalanan militer pasca dihapuskannya Dwi Fungsi ABRI yang
berlaku saat rezim orde baru dibawah kekuasaan soeharto dan lahirnya beragam
kebijakan yang menekan militer untuk keluar dari keikutsertaannya di dalam
dunia politik dan kembali ke jati diri dan fungsi awal dibentuknya TNI sebagai
organisasi terdepan dalam mempertahankan dan mengamankan kesatuan dan
kedaulatan NKRI.
B.
Rumusan Masalah
a) Bagaimana teori hubungan
militer dalam dunia politik?
b) Bagaimana hubungan militer
dalam dunia politik pada masa pemerintahan soekarno
c) Bagaimana hubungan militer
dalam dunia politik pada masa pemerintahan soeharto?
d) Bagaimana hubungan militer
dalam dunia politik pada masa reformasi?
C.
Tujuan Penulisan
a) Memenuhi tugas mata kuliah
sistem politik indonesia yang diberikan oleh dosen pengampu
b) Mengetahui teori hubungan
militer dalam dunia politik
c) Mengetahui hubungan militer
dalam dunia politik pada masa pemerintahan soekarno
d) Mengetahui hubungan militer
dalam dunia politik pada masa pemerintahan soeharto
e) Mengetahui hubungan militer
dalam dunia politik pada masa reformasi
- Manfaat Penulisan
a) Makalah ini bermanfaat untuk
menambah pengetahuan dan wawasan tentang hubungan militer dan politik
b) Makalah ini bermanfaat sebagai
referensi bacaan yang sesuai untuk teman – teman yang mengerjakan tugas tentang
hubungan militer dan politik
c) Makalah ini bermanfaat sebagai
bahan bacaan untuk teman-teman untuk mengisi waktu luang
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Teori Hubungan
Militer Dan Politik
Politik
dan militer bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Memang jika
dilihat dengan awam sepertinya tak ada sama sekali hubungan antara politik dan
militer. Namun jika kita menelusuri timbulnya politik dan terjadinya aksi
militer, tak pernah luput dari dua permasalahan tersebut. Disatu sisi para elit
politik berusaha menarik perhatian dan partisipasi orang yang dipengaruhi
dengan janji-janji politik berupa kemakmuran dan keadilan. Tetapi jika kemauan
dari para elit politik tersebut tidak terpenuhi, maka semuanya akan berakhir
diujung moncong senjata yang disarana dan prasaranai dengan kekuatan militer,
begitu juga sebaliknya jika para elit politik tersebut berhasil dalam
menyampaikan gagasan atau keinginannya dan setelah semua yang di harapkan
tersebut terpenuhi. Maka tak jarang pula
kekuatan militer yang akan memfinishing (memuluskan tujuan) dari kaum elit
tersebut untuk mempertahankan bahkan menguasai lebih banyak lagi harapan yang
diinginkan oleh para elit politik tersebut. Masyarakat telah puluhan tahun terhegemoni oleh pendapat-pendapat
pemerintah dan institusi Negara, warga Negara, para guru, pemilih, pekerja
telah terbelenggu oleh ideologi negara dan
seolah-olah tidak dapat bergeming sedikitpun. Di dunia pendidikan
menengah, pesan-pesan Negara di masukkan dalam pelajaran sejarah, ilmu
pengetahuan social, psikologi dan antropologi. Mengikuti konsep Antonio Gramsci
(Watson 1998: 18-19), hegemoni adalah “control over” yang bekerja ketika ada consensus umum
yakni sewaktu ada masyarakat atau sebagian besar darinya menyepakati pengaruh
kendali dan pembuatan keputusan ari sebagian masyarakat yang di sebut power
elite. Para anggota elite penguasa mempengaruhi dan menguasai pemegang endali
kekuasaan. Elite berkuasa kemudian mempengaruhi media, hukum,
sumber-sumber keuangan, pendidikan, budaya dan lantas memenangkan consensus
atas publik.
Menurut
Langenberg, penetrasi militer ke lembaga-lembaga sipil dari system Negara hasil
dwi fungsi sebagai kebijakan telah scara politik memperkuat lembaga-lembaga di
dalam system Negara dan menjamin dukungan militer baginya. Sebuah karya
Samuel P. Huntington dalam buku yang diterbitkan tahun 1957, The Soldier
and The State dapat dianggap sebagai karya perintis
dalam membahas hubungan antara pihak militer dengan sipil dalam konteks
pengalaman sistem politik Amerika Serikat pada khususnya, dan demokrasi liberal
di Barat pada umumnya. Inti pandangan Huntington sendiri mengelompokkan
tentara dalam kerangka hubungan sipil-militer menjadi dua yaitu, tentara
pretorian dan tentara profesional. Tentara pretorian atau
tentara jenis penakluk (warior) dalam hal ini mewakili kelompok militer yang
berkuasa dan menjalankan pemerintahan dan menentukan keputusan-keputusan
politik. Paham ini tumbuh dan berkembang sebelum abad ke-19 ketika
profesi perwira sebagai pengelola kekerasan (manager of violence)
masih merupakan monopoli para kerabat istana. Munculnya revolusi Perancis
1789, menandai perubahan dari “tentara pencari keuntungan materi” menjadi
“tentara karena panggilan suci, misalnya mengabdi negara”, hal inilah yang
kemudian dikemukakan oleh Huntington sebagai awal berkembangnya paham tentara
profesional. Sebenarnya pandangan ini tidak saja dinyatakan oleh
Huntington, namun jauh sebelumnya seorang ilmuwan Perancis, de Tocqueville
telah berbicara tentang “profesi militer” dan “kehormatan militer”
B.
Hubungan Militer Dan Politik Masa Soekarno
Militer memasuki dunia politik indonesia pada waktu itu
dimulai saat pemerintah mengeluarakan maklumat pada tanggal 5 oktober 1945 yang
mengubah status BKR (Badan Keamanan Rakyat) Menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang memiliki
fungsi menangani masalah-masalah sipil yang berhubungan dengan keamanan dan ketertiban
serta sebagai alat pertahanan guna menghadapi seranagan musuh dari luar.
Masuknya militer dalam dunia politik karena situasi pemerintahan sipil yang
belum terorganisir dengan baik. Karena dilakukan atas dasar pengabdian dan
cinta tanah air maka terbentuklah organisasi dari berbagai golongan masyarakat
yang bersifat militer seperti PETA, KNIL, Tentara Republik Indonesia pelajar,
Hizbullah, Barisan Banteng dan Laskar pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang
membantu tentara dalam menghadapi perang dalam dunia politik maupun non politik.
Karena keterlibatan dan pengaruh militer dalam urusan politik yang mendalam
pada saat itu menimbulkan perpecahan dalam tubuh TNI (Tentara Nasional
Indonesia) menjadi dua golongan yang saling bermusuhan yakni TNI yang pro
dengan pemerintahan republik dan TNI yang
pro dengan PKI dimana saat itu kabinet yang dipimpin oleh perdana
menteri Amir Sjarifuddin sebagian anggotanya menganut paham komunis seperti
Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) yang merupakan tangan kanan PKI yang
menanamkan paham komunis kedalam TNI, Perpecahan itu tampak jelas saat
terjadinya peristiwa pemberontakan PKI di madiun pada tahun 1948 yang dibantu
oleh sebagian anggota TNI.
Pasca peristiwa tersebut perdana menteri waktu itu
Menteri Hatta membuat kebijakan RERA (Reorganisasi dan Rasionalisasi Tentara).
Kebijakan itu bertujuan untuk mengefisiensikan anggaran dan untuk mematangkan
organisasi ketentaraan. Dengan adanya RERA berusaha agar tentara tidak
ikut-ikut dalam dunia politik dan setia terhadap presiden serta ideologi negara
dan bangsanya. Pasca diakuinya kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tanggal
27 Desember 1949, saat pemerintah Indonesia memasuki masa demokrasi
parlementer. Saat itu supremasi sipil benar-benar dijalankan, Saat itu tentara
dibawah pimpinan A.H Nasution melihat adanya ketidakstabilan dan tidak sehatnya
parlemen yakni dibuktikan dari 3 faktor. Yang Pertama, Demokrasi parlementer yang terdiri dari berbagai partai
dengan perbedaan ideologi membuat negara tidak dijalankan secara konsisten dan
program jangka panjang tidak berjalan dengan baik Kedua, anggota parlemen yang sebagian besar orang-orang yang pro
pemerintahan federal Belanda yang merupakan musuh TNI dalam perang kemerdekaan,
Ketiga, adanya campur tangan sipil
terhadap urusan internal didalam tubuh tentara. Karena adanya ketidakpuasaan
dan kekecewaan tentara terhadap sistem parlementer tersebut terwujud dalam aksi
demonstrasi yang dilakukam oleh TNI pimpinan Nasution dengan dukungan rakyat
pada tanggal 17 Oktober 1952. Demonstrasi itu mencerminkan sikap tentara yang
hendak memainkan peran politik untuk melawan parlementer yang pada saat itu
yang dianggap mengacaukan keadaan dalam negeri. Karena dengan adanya campur tangan politisi sipil
dalam tubuh militer agar tentara dijadikan alat utama untuk mendukung partai politik
tertentu, akibatnya profesionalitas tentara dalam menjalankan tugasnya dalam
melakukan pengamanan tidak profesional dan peluang itu kemudian dimanfaatkan
oleh gerakan-gerakan yang menginginkan kemerdekaan untuk lepas dari republik
Indonesia salah satunya DI/TII. Karena situasi negara yang darurat akibat
banyaknya pemberontakan tersebut memaksa Presiden Soekarno kemudian
memberlakukan keadaan darurat perang (Staat van Oorlog en Beleg/ SOB)
pada 14 maret 1957. SOB inilah yang memberi ijin kepada tentara untuk melakukan
tindakan nonmiliter, termasuk mendapatkan peranan politik kembali. Peranan
tentara dalam politik waktu itu dapat dilihat dari kabinet Djuanda yang
memasukkan tentara ke dalam jabatan politik yang strategis seperti Menteri
Pelayaran Laut yang dipegang oleh Kolonel Nazir, Kolonel Dr. Aziz Saleh sebagai
Menteri Kesehatan, dan Kolonel Suprayogi sebagai Menteri Negara Urusan
Stabilitas Khusus. Kebijakan tersebut diambil oleh Soekarno sebagai kepala
negara agar mendapatkan dukungan penuh dari tentara. Dalam masa demokrasi
terpimpin pada waktu itu kekuatan politik lain yang mempunyai pengaruh yang
cukup kuat selain Soekarno dan Angkatan Darat adalah PKI (Partai Komunis
Indonesia). Prinsip yang diusung PKI mengenai gotong royong dan kekeluargaan dalam
kebijakannya membuat partai tersebut mendapat
dukungan dan basis massa yang cukup besar mulai dari kalangan menengah
ke bawah, khususnya para petani dan buruh. Karena itulah terjadi persaingan
antara tiga kekuatan: TNI, PKI, dan Presiden Soekarno yang menjaga keseimbangan
antara TNI dengan PKI. Kewibawaan dan kedudukan Presiden sebagai penentu
kebijakan menjadi perebutan dua kekuatan politik TNI dan PKI untuk saling
mendekati dan mempengaruhi Presiden agar mendapatkan kekuasaan politik.
Karena dianggap sebagai lawan politik yang paling
tangguh. PKI melakukan sebuah kudeta untuk menjatuhkan TNI dimata soekarno.
Tragedi yang dilakukan oleh kelompok PKI dengan melakukan penculikan dan
pembunuhan enam Jendral dan satu perwira letnan. Aksi yang dilakukan pada
tanggl 30 September 1965. Karena kejadian tersebut banyak aksi protes dan
demonstrasi yang dilakukan oleh gabungan mahasiswa dengan mengatasnamakan KAMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia) pada tanggal 10 Januari 1966. Tuntutan para mahasiswa
terhadap pemerintah tersebut kemudian dituangkan dalam Tritura (Tiga Tuntutan
Rakyat) yang isinya membubarkan PKI, merombak kabinet Dwikora yang isinya
terdapat orang-orang PKI, dan menurunkan harga. Protes itu kemudian juga
mendapat dukungan dari tentara, kemudian para tentara itu pada tanggal 11 Maret
1966 melakukan Demonstrasi dengan mengepung istana presiden hingga aksi
tersebut menandakan kembali peran tentara dalam dunia politik dengan menekan
Presiden untuk mengeluarkan SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) 1966.
Yang memberikan kekuasaan kepada Jendral Soeharto untuk menangani kekacaun dan
berusaha mengamankan situasi negara yang sedang darurat. yang kemudian
diperkuat dengan Ketetapan MPRS No. XXV / MPRS / 1966 pada juli 1966 yang
menentapkan tentang pembubaran PKI, dan larangan tentang setiap kegiatannya
untuk menyebarkan atau mengembangkan ajaran Marxisme-Leninisme. Dengan
dikeluarkannya SUPERSEMAR yang diberikan kepada Jendral Soeharto memberikan
kekuasaan sementara kepada Jendral Soeharto seperti layaknya Presiden karena
pada tanggal 27 maret 1966, ia membentuk kabinet yang diberi nama Kabinet
Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), yang memiliki dua tugas utama, yaitu
stabilitas politik dan stabilitas ekonomi. Serta membubarkan kabinet Dwikora
yang dibentuk oleh Soekarno yang didalamnya terdapat 15 menteri yang ikut
terlibst dalam Gerakan 30 September 1965. Kemudian pengangkatan Soeharto
sebagai Presiden resminya baru dilakukan oleh MPRS pada tanggal 21 Maret 1968.
Setelah Presiden Soekarno diberhentikan pada tanggal 12 Maret 1967 oleh MPRS.
- Hubungan Militer Dan Politik Masa Soeharto
Kebijakan politik dalam negeri pertama dalam masa orde baru adalah pembubaran PKI beserta
organisasi-organisasi sayapnya, dan membersihkan DPR / MPR dari unsur-unsur
PKI. Pemilu pada masa
orde baru pertama kali dilakukan pada tahun 1971. Pemerintah kemudian
menyederhanakan partai politik (dari 10 menjadi 3), meresmikan peran militer
dalam pemerintahan (dwifungsi ABRI), serta mewajibkan Penataran P4 (Pedoman,
Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila) bagi masyarakat. Irian Barat dan Timor Timur disahkan sebagai
wilayah kekuasaan NKRI lewat perjanjian dan konfrontasi. Pemerintah juga menggagas berdirinya
ASEAN, setelah sebelumnya mengakui negara Singapura, memulihkan hubungan dengan
Malaysia (bermusuhan pada masa orde lama), dan kembali menjadi anggota PBB pada
tahun 1967 setelah keluar pada tahun 1965. Pada
masa Orde Baru, militer memiliki peranan dominan dalam politik. Dominasi peran
militer dalam politik merupakan usaha rezim Orde Baru untuk mempertahankan
kekuasaannya. Rezim Orde Baru membangun opini masyarakat tentang sejarah ABRI,
seakan-akan pada masa lalu ABRI sudah ikut menentukan nasib negara secara politik. Dari sinilah
kemudian dibangun system pemerintahan yang militeristik dengan mengikutsertakan
ABRI dalam politik penyelenggaraan negara. Pendekatan Orde Baru yang selalu
mengedepankan Dwi Fungsi ABRI karena latar belakang ABRI di Indonesia dalam
sejarah lahirnya militer dari rakyat yang berjuang di daerah-daerah dengan bergerilya
melawan penjajah kolonial Belanda. Tersebut merupakan usaha rejim Soeharto dalam memberikan pembenaran bahwa
tindakan represif militer yang selama ini dilakukan adalah demi kepentingan
stabilitas rakyat juga. Keterikatan ABRI
dalam politik terlihat yaitu pada prakteknya militer bukan saja di perbolehkan
mengikuti dunia politik, melainkan juga ”bersama kekuatan sosial politik
lainnya” terlibat dalam kehidupan kenegaraan, yang bersumber pada aspek legal
empirik. Militer secara kelembagaan atau individu terlibat dalam berbagai
kegiatan seperti :
a) Sebagai pilar
Orde Baru, duduknya TNI di DPR melalui jalur pengangkatan meskipun bukan partai
tetapi didasarkan atas Susduk DPR/MPR RI yang mengesahkan kedudukan tersebut.
b) Sebagai
stabilisator dan dinamisator, kehadiran politik TNI di wujudkan melalui Golkar. Disamping untuk menjamin berjalannya sistem demokrasi, politisi Orde Baru juga
berusaha melahirkan kekuatan politik yang dominan.
c) TNI bukan saja
hadir di lembaga legislatif tetapi juga di eksekutif. Hal tersebut dapat
dilihat dari TNI yang duduk pada jabatan kunci di pemerintahan, baik yang masih
aktif maupun yang sudah purnawirawan.
d) Dalam usaha menopang kesejahteraan
keluarga TNI, Presiden Soeharto juga banyak memberikan kesempatan untuk
berbisnis.
e) Disamping
tugas-tugas kekaryaan dan ekonomi, TNI juga memerankan fungsi modernisasi dengan ABRI masuk desa (AMD) pada daerah tertinggal dengan nama TNI.
Dominasi peran dalam dwi fungsi
ABRI memang berada pada angkatan darat [46], hal tersebut terjadi karena sejarah
panjang politik di Indonesia. Kegagalan kekuatan politik nasionalis melawan
kekuatan politik Islam dalam pemerintahan Soekarno, telah menjadikan pamor
kekuatan militer naik. yang di lakukan PKI pada tahun 1965, membuat angkatan
darat menjadi mobilisator dari masyarakat untuk menghalau
kekuatan PKI, telah membawa nama militer (AD) semakin dicintai pada saat itu.
Terutama dari kalangan priyayi dan santri dalam usaha menandingi kekuatan
komunis. Percaturan politik di Indonesia sejak tahun 1959 hingga terjadi
perebuatan kekuasaan oleh PKI sangat didominasi oleh Soekarno sampai dengan
hal-hal yang sangat sepele. Hingga Pada masa-masa akhir Orde Baru suara-suara ketidakpuasan masyarakat
terhadap pemerintah umumnya, dan terhadap dominasi militer yang dianggap sebagai
alat pemerintah khususnya semakin kuat, yang pada akhirnya bergulir ke permukaan dengan gelombang yang semakin
membesar dan tidak terhindarkan dalam bentuk gerakan reformasi. Seiring berjalannya waktu, dan setelah terjadi krisis ekonomi dan politik
yang berlanjut pada krisis kepercayaan, muncullah gerakan reformasi yang
dipelopori oleh mahasiswa dan membawa dampak terhadap jatuhnya kursi
kepemimpinan Soeharto yang mengatasnamakan Orde Baru. Dengan jatuhnya Soeharto
dari kursi kepresidenannya pada tanggal 21 Mei 1998 maka berakhir pula
pemerintahan Orde Baru karena Soeharto dianggap sebagai personifikasi Orde
Baru.
- Hubungan Militer Dan Politik
Masa Reformasi
Demonstrasi yang melahirnya era reformasi tahun
1998 mendesak ABRI merombak struktur internal organisasi. Langkah awal yang
dilakukan adalah dengan mengganti nama ABRI menjadi TNI, kemudian diikuti
dengan langkah melikuidasi beberapa organisasi di TNI seperti Badan Pembinaaan
Kekaryaan (Babinkar) yang di era Orde Baru mengelola penempatan ABRI dalam
struktur pemerintahan sipil, melikuidasi Kepala Staf Komando Teritorial
(Kaster) TNI, serta melikuidasi Badan Koordinasi Stabilitas Nasional
(Bakorstanas) yang membuat militer mengontrol kehidupan politik. Reformasi yang
bersifat demokrasi kemudian membuat peran ABRI di perwakilan rakyat DPR
dikurangi secara bertahap dari semula yang berjumlah 75 menjadi 38 anggota,
selain itu juga muncul regulasi politik dan kebijakan yang menata sistem
keamanan nasional yang baru yaitu berupa pemisahan TNI dan POLRI pada April
1999 yang tertuang di dalam TAP MPR No. VI Tahun 2000 dan TAP MPR No. VII Tahun
2000 yang mengatur tentang peran dan tugas TNI dan POLRI dengan tujuan agar
tindakan POLRI menjadi profesional tanpa harus khawatir dengan adanya
intervensi dari kepentingan militer. Masa reformasi juga mengurangi kedigdayaan
Angkatan Darat(AD) dalam TNI yang saat Orde Baru Berkuasa jabatan strategis
selalu diisi oleh TNI dari Angkatan Darat salah satunya jabatan Panglima TNI.
Pergantian itu dilakukan oleh Abdurrahman Wahid yang terpilih sebagai Presiden
dengan mengangkat seorang Marsekal Angkatan Laut (AL) sebagai Panglima TNI.
Namun saat Presiden dipegang oleh Megawati Soekarnoputri yang menggantikan
Abdurrahman Wahid membuat jabatan Panglima TNI diisi kembali dari TNI Angkatan
Darat. Namun Di penghujung pemerintahan Megawati, Megawati Mengesahkan
Undang-undang 34/2004 tentang panglima TNI yang harus dijabat secara
bergantian.
Dengan adanya regulasi yang membatasi militer
didalam politik yang sudah diterapkan, banyak para anggota TNI yang memilih
jalan lain untuk berperan dalam politik
yaitu dengan mengikuti pemilihan kepala daerah(pilkada). Ini dapat
dilihat pada pilkada tahun 2004 yang diikuti oleh banyak anggota TNI yang sudah
pensiun maupun yang masih aktif. Fenomena seperti ini karena disebabkan oleh
tiga faktor, yaitu pertama regulasi politik yang masih belum sempurna dan
memberi peluang kepada anggota TNI yang masih aktif untuk mengikuti pilkada
dengan status anggota TNI non aktif sementara, meski dalam UU TNI Pasal 39 Ayat
(4) sudah ditegaskan setiap anggota TNI aktif dilarang untuk dipilih menjadi
anggota legislatif dalam pilkada dan jabatan politis lainnya. Kedua kegagalan
TNI dalam merubah paradigma TNI pasca reformasi 1998 mengenai ”TNI adalah
tentara rakyat” yang lahir dari rakyat dan bersama rakyat, paradigma ini
cenderung disalahartikan sebagai hubungan sipil dan militer dalam pertahanan
negara. Sehingga dengan paradigma seperti itu TNI merasa selain berperan dalam
pertahanan negara mereka juga harus memiliki peran di wilayah publik seperti
ekonomi, sosial, budaya dan politik. Ketiga sedikitnya minat rakyat sipil yang
mencalonkan kader partai politik dan Lemahnya partai dalam mencetak kader yang
berkualitas, sehingga membuat partai politik berlomba-lomba mencari kader dari
TNI yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. Peluang ini jelas dinantikan oleh
para anggota militer yang mempunyai ambisi untuk bergabung ke dalam politik
namun peluang politiknya tertutup oleh proses reformasi yang memangkas tradisi
politik TNI.