Minggu, 15 Oktober 2017

Teori Hubungan Militer Dan Politik Di Indonesia




TUGAS MATA  KULIAH
SISTEM POLITIK INDONESIA
TEORI HUBUNGAN MILITER DAN POLTIK
Dosen Pengampu :  Nur Dewi Setyowati.S.Sos.M.Si






Disusun oleh :

    AJI SULISTYO               1632010005
    BETSYBA M. E.S           1632010013


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
PRODI ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS  MERDEKA 
MADIUN
 2016







BAB 1
PENDAHULUAN


A.   Latar Belakang

Melihat perkembangan dunia perpolitikan di indonesia sejak kemerdekaan hingga sekarang, tentu kita tidak bisa melepaskan peranan dan keikutsertaan dunia militer didalamnya. Karena Sejak lahirnya kemerdekaan indonesia sejak itu juga militer indonesia dibangun, bahkan setelah kemerdekaan kekuatan militer pernah mendominasi dunia politik di indonesia. Salah satunya dengan adanya Dwi Fungsi ABRI yang berlaku saat era rezim orde baru yang merupakan bukti nyata bahwa kekuatan militer indonesia pernah berperan dalam jalannya kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara. Untuk mengetahui lebih dalam peranan dan keikutsertaan militer didalam dunia politik indonesia maka kita harus membaginya menjadi tiga masa. yaitu pertama, masa orde lama yang berada dibawah kepemimpinan soekarno yang berlangsung dari tahun 1946 hingga tahun 1966 dimana pada saat ini TNI baru membentuk dirinya sendiri dan awal keikutsertaannya di dalam dunia politik militer. Beberapa peristiwa yang menjadi bukti TNI ikut berperan dalam dunia politik di masa orde lama adalah peristiwa 30 September 1965. Kedua, masa orde baru yang berlangsung selama 32 tahun dari tahun 1966 hingga tahun 1998 yang berada dibawah kepemimpinan soeharto, pada masa ini kita dapat melihat betapa kuat dan besarnya peran milter didalam dunia politik indonesia hal ini dibuktikan dengan diberlakukannya Dwi Fungsi ABRI yang memberi peluang secara terbuka untuk militer ikut serta di dalam dunia politik. Ketiga, Masa Reformasi yang berlangsung dari tahun 1998 hingga sekarang dimana kita dapat melihat sebuah titik balik perjalanan militer pasca dihapuskannya Dwi Fungsi ABRI yang berlaku saat rezim orde baru dibawah kekuasaan soeharto dan lahirnya beragam kebijakan yang menekan militer untuk keluar dari keikutsertaannya di dalam dunia politik dan kembali ke jati diri dan fungsi awal dibentuknya TNI sebagai organisasi terdepan dalam mempertahankan dan mengamankan kesatuan dan kedaulatan NKRI.

B.   Rumusan Masalah
a)     Bagaimana teori hubungan militer dalam dunia politik?
b)  Bagaimana hubungan militer dalam dunia politik pada masa pemerintahan soekarno
c)    Bagaimana hubungan militer dalam dunia politik pada masa pemerintahan soeharto?
d)   Bagaimana hubungan militer dalam dunia politik pada masa reformasi?

C.   Tujuan Penulisan
a) Memenuhi tugas mata kuliah sistem politik indonesia yang diberikan oleh dosen pengampu
b)    Mengetahui teori hubungan militer dalam dunia politik
c)   Mengetahui hubungan militer dalam dunia politik pada masa pemerintahan soekarno
d)   Mengetahui hubungan militer dalam dunia politik pada masa pemerintahan soeharto
e)   Mengetahui hubungan militer dalam dunia politik pada masa reformasi



  1. Manfaat Penulisan
a)  Makalah ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang hubungan militer dan politik
b)  Makalah ini bermanfaat sebagai referensi bacaan yang sesuai untuk teman – teman yang mengerjakan tugas tentang hubungan militer dan politik
c)  Makalah ini bermanfaat sebagai bahan bacaan untuk teman-teman untuk mengisi waktu luang









BAB 2
PEMBAHASAN



A.   Teori Hubungan Militer Dan Politik

Politik dan militer bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Memang jika dilihat dengan awam sepertinya tak ada sama sekali hubungan antara politik dan militer. Namun jika kita menelusuri timbulnya politik dan terjadinya aksi militer, tak pernah luput dari dua permasalahan tersebut. Disatu sisi para elit politik berusaha menarik perhatian dan partisipasi orang yang dipengaruhi dengan janji-janji politik berupa kemakmuran dan keadilan. Tetapi jika kemauan dari para elit politik tersebut tidak terpenuhi, maka semuanya akan berakhir diujung moncong senjata yang disarana dan prasaranai dengan kekuatan militer, begitu juga sebaliknya jika para elit politik tersebut berhasil dalam menyampaikan gagasan atau keinginannya dan setelah semua yang di harapkan tersebut terpenuhi. Maka tak jarang pula kekuatan militer yang akan memfinishing (memuluskan tujuan) dari kaum elit tersebut untuk mempertahankan bahkan menguasai lebih banyak lagi harapan yang diinginkan oleh para elit politik tersebut. Masyarakat telah puluhan tahun terhegemoni oleh pendapat-pendapat pemerintah dan institusi Negara, warga Negara, para guru, pemilih, pekerja telah terbelenggu oleh ideologi negara dan seolah-olah tidak dapat bergeming sedikitpun. Di dunia pendidikan menengah, pesan-pesan Negara di masukkan dalam pelajaran sejarah, ilmu pengetahuan social, psikologi dan antropologi. Mengikuti konsep Antonio Gramsci (Watson 1998: 18-19), hegemoni adalah “control over” yang bekerja ketika ada consensus umum yakni sewaktu ada masyarakat atau sebagian besar darinya menyepakati pengaruh kendali dan pembuatan keputusan ari sebagian masyarakat yang di sebut power elite. Para anggota elite penguasa mempengaruhi dan menguasai pemegang endali kekuasaan. Elite berkuasa kemudian mempengaruhi media, hukum, sumber-sumber keuangan, pendidikan, budaya dan lantas memenangkan consensus atas publik.
Menurut Langenberg, penetrasi militer ke lembaga-lembaga sipil dari system Negara hasil dwi fungsi sebagai kebijakan telah scara politik memperkuat lembaga-lembaga di dalam system Negara dan menjamin dukungan militer baginya. Sebuah karya Samuel P. Huntington dalam buku yang diterbitkan tahun 1957, The Soldier and The State dapat dianggap sebagai karya perintis dalam membahas hubungan antara pihak militer dengan sipil dalam konteks pengalaman sistem politik Amerika Serikat pada khususnya, dan demokrasi liberal di Barat pada umumnya.   Inti pandangan Huntington sendiri mengelompokkan tentara dalam kerangka hubungan sipil-militer menjadi dua yaitu, tentara pretorian dan tentara profesional.  Tentara pretorian atau tentara jenis penakluk (warior) dalam hal ini mewakili kelompok militer yang berkuasa dan menjalankan pemerintahan dan menentukan keputusan-keputusan politik.  Paham ini tumbuh dan berkembang sebelum abad ke-19 ketika profesi perwira sebagai pengelola kekerasan (manager of violence) masih merupakan monopoli para kerabat istana. Munculnya revolusi Perancis 1789, menandai perubahan dari “tentara pencari keuntungan materi” menjadi “tentara karena panggilan suci, misalnya mengabdi negara”, hal inilah yang kemudian dikemukakan oleh Huntington sebagai awal berkembangnya paham tentara profesional.  Sebenarnya pandangan ini tidak saja dinyatakan oleh Huntington, namun jauh sebelumnya seorang ilmuwan Perancis, de Tocqueville telah berbicara tentang “profesi militer” dan “kehormatan militer”



B.   Hubungan Militer Dan Politik Masa Soekarno

Militer memasuki dunia politik indonesia pada waktu itu dimulai saat pemerintah mengeluarakan maklumat pada tanggal 5 oktober 1945 yang mengubah status BKR (Badan Keamanan Rakyat) Menjadi  TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang memiliki fungsi menangani masalah-masalah sipil yang berhubungan dengan keamanan dan ketertiban serta sebagai alat pertahanan guna menghadapi seranagan musuh dari luar. Masuknya militer dalam dunia politik karena situasi pemerintahan sipil yang belum terorganisir dengan baik. Karena dilakukan atas dasar pengabdian dan cinta tanah air maka terbentuklah organisasi dari berbagai golongan masyarakat yang bersifat militer seperti PETA, KNIL, Tentara Republik Indonesia pelajar, Hizbullah, Barisan Banteng dan Laskar pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang membantu tentara dalam menghadapi perang dalam dunia politik maupun non politik. Karena keterlibatan dan pengaruh militer dalam urusan politik yang mendalam pada saat itu menimbulkan perpecahan dalam tubuh TNI (Tentara Nasional Indonesia) menjadi dua golongan yang saling bermusuhan yakni TNI yang pro dengan pemerintahan republik dan TNI yang  pro dengan PKI dimana saat itu kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri Amir Sjarifuddin sebagian anggotanya menganut paham komunis seperti Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) yang merupakan tangan kanan PKI yang menanamkan paham komunis kedalam TNI, Perpecahan itu tampak jelas saat terjadinya peristiwa pemberontakan PKI di madiun pada tahun 1948 yang dibantu oleh sebagian anggota TNI.
Pasca peristiwa tersebut perdana menteri waktu itu Menteri Hatta membuat kebijakan RERA (Reorganisasi dan Rasionalisasi Tentara). Kebijakan itu bertujuan untuk mengefisiensikan anggaran dan untuk mematangkan organisasi ketentaraan. Dengan adanya RERA berusaha agar tentara tidak ikut-ikut dalam dunia politik dan setia terhadap presiden serta ideologi negara dan bangsanya. Pasca diakuinya kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, saat pemerintah Indonesia memasuki masa demokrasi parlementer. Saat itu supremasi sipil benar-benar dijalankan, Saat itu tentara dibawah pimpinan A.H Nasution melihat adanya ketidakstabilan dan tidak sehatnya parlemen yakni dibuktikan dari 3 faktor. Yang Pertama, Demokrasi parlementer yang terdiri dari berbagai partai dengan perbedaan ideologi membuat negara tidak dijalankan secara konsisten dan program jangka panjang tidak berjalan dengan baik Kedua, anggota parlemen yang sebagian besar orang-orang yang pro pemerintahan federal Belanda yang merupakan musuh TNI dalam perang kemerdekaan, Ketiga, adanya campur tangan sipil terhadap urusan internal didalam tubuh tentara. Karena adanya ketidakpuasaan dan kekecewaan tentara terhadap sistem parlementer tersebut terwujud dalam aksi demonstrasi yang dilakukam oleh TNI pimpinan Nasution dengan dukungan rakyat pada tanggal 17 Oktober 1952. Demonstrasi itu mencerminkan sikap tentara yang hendak memainkan peran politik untuk melawan parlementer yang pada saat itu yang dianggap mengacaukan keadaan dalam negeri. Karena dengan adanya campur tangan politisi sipil dalam tubuh militer agar tentara dijadikan alat utama untuk mendukung partai politik tertentu, akibatnya profesionalitas tentara dalam menjalankan tugasnya dalam melakukan pengamanan tidak profesional dan peluang itu kemudian dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan yang menginginkan kemerdekaan untuk lepas dari republik Indonesia salah satunya DI/TII. Karena situasi negara yang darurat akibat banyaknya pemberontakan tersebut memaksa Presiden Soekarno kemudian memberlakukan keadaan darurat perang (Staat van Oorlog en Beleg/ SOB) pada 14 maret 1957. SOB inilah yang memberi ijin kepada tentara untuk melakukan tindakan nonmiliter, termasuk mendapatkan peranan politik kembali. Peranan tentara dalam politik waktu itu dapat dilihat dari kabinet Djuanda yang memasukkan tentara ke dalam jabatan politik yang strategis seperti Menteri Pelayaran Laut yang dipegang oleh Kolonel Nazir, Kolonel Dr. Aziz Saleh sebagai Menteri Kesehatan, dan Kolonel Suprayogi sebagai Menteri Negara Urusan Stabilitas Khusus. Kebijakan tersebut diambil oleh Soekarno sebagai kepala negara agar mendapatkan dukungan penuh dari tentara. Dalam  masa demokrasi terpimpin pada waktu itu kekuatan politik lain yang mempunyai pengaruh yang cukup kuat selain Soekarno dan Angkatan Darat adalah PKI (Partai Komunis Indonesia). Prinsip yang diusung PKI mengenai gotong royong dan kekeluargaan dalam kebijakannya membuat partai tersebut mendapat  dukungan dan basis massa yang cukup besar mulai dari kalangan menengah ke bawah, khususnya para petani dan buruh. Karena itulah terjadi persaingan antara tiga kekuatan: TNI, PKI, dan Presiden Soekarno yang menjaga keseimbangan antara TNI dengan PKI. Kewibawaan dan kedudukan Presiden sebagai penentu kebijakan menjadi perebutan dua kekuatan politik TNI dan PKI untuk saling mendekati dan mempengaruhi Presiden agar mendapatkan kekuasaan politik.
Karena dianggap sebagai lawan politik yang paling tangguh. PKI melakukan sebuah kudeta untuk menjatuhkan TNI dimata soekarno. Tragedi yang dilakukan oleh kelompok PKI dengan melakukan penculikan dan pembunuhan enam Jendral dan satu perwira letnan. Aksi yang dilakukan pada tanggl 30 September 1965. Karena kejadian tersebut banyak aksi protes dan demonstrasi yang dilakukan oleh gabungan mahasiswa  dengan mengatasnamakan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) pada tanggal 10 Januari 1966. Tuntutan para mahasiswa terhadap pemerintah tersebut kemudian dituangkan dalam Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang isinya membubarkan PKI, merombak kabinet Dwikora yang isinya terdapat orang-orang PKI, dan menurunkan harga. Protes itu kemudian juga mendapat dukungan dari tentara, kemudian para tentara itu pada tanggal 11 Maret 1966 melakukan Demonstrasi dengan mengepung istana presiden hingga aksi tersebut menandakan kembali peran tentara dalam dunia politik dengan menekan Presiden untuk mengeluarkan SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) 1966. Yang memberikan kekuasaan kepada Jendral Soeharto untuk menangani kekacaun dan berusaha mengamankan situasi negara yang sedang darurat. yang kemudian diperkuat dengan Ketetapan MPRS No. XXV / MPRS / 1966 pada juli 1966 yang menentapkan tentang pembubaran PKI, dan larangan tentang setiap kegiatannya untuk menyebarkan atau mengembangkan ajaran Marxisme-Leninisme. Dengan dikeluarkannya SUPERSEMAR yang diberikan kepada Jendral Soeharto memberikan kekuasaan sementara kepada Jendral Soeharto seperti layaknya Presiden karena pada tanggal 27 maret 1966, ia membentuk kabinet yang diberi nama Kabinet Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), yang memiliki dua tugas utama, yaitu stabilitas politik dan stabilitas ekonomi. Serta membubarkan kabinet Dwikora yang dibentuk oleh Soekarno yang didalamnya terdapat 15 menteri yang ikut terlibst dalam Gerakan 30 September 1965. Kemudian pengangkatan Soeharto sebagai Presiden resminya baru dilakukan oleh MPRS pada tanggal 21 Maret 1968. Setelah Presiden Soekarno diberhentikan pada tanggal 12 Maret 1967 oleh MPRS.




  1. Hubungan Militer Dan Politik Masa Soeharto
Kebijakan politik dalam negeri pertama dalam masa orde baru adalah pembubaran PKI beserta organisasi-organisasi sayapnya, dan membersihkan DPR / MPR dari unsur-unsur PKI. Pemilu pada masa orde baru pertama kali dilakukan pada tahun 1971. Pemerintah kemudian menyederhanakan partai politik (dari 10 menjadi 3), meresmikan peran militer dalam pemerintahan (dwifungsi ABRI), serta mewajibkan Penataran P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila) bagi masyarakat. Irian Barat dan Timor Timur disahkan sebagai wilayah kekuasaan NKRI lewat perjanjian dan konfrontasi. Pemerintah juga menggagas berdirinya ASEAN, setelah sebelumnya mengakui negara Singapura, memulihkan hubungan dengan Malaysia (bermusuhan pada masa orde lama), dan kembali menjadi anggota PBB pada tahun 1967 setelah keluar pada tahun 1965. Pada masa Orde Baru, militer memiliki peranan dominan dalam politik. Dominasi peran militer dalam politik merupakan usaha rezim Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaannya. Rezim Orde Baru membangun opini masyarakat tentang sejarah ABRI, seakan-akan pada masa lalu ABRI sudah ikut menentukan  nasib negara secara politik. Dari sinilah kemudian dibangun system pemerintahan yang militeristik dengan mengikutsertakan ABRI dalam politik penyelenggaraan negara. Pendekatan Orde Baru yang selalu mengedepankan Dwi Fungsi ABRI karena latar belakang ABRI di Indonesia dalam sejarah lahirnya militer dari rakyat yang berjuang di daerah-daerah dengan bergerilya melawan penjajah kolonial Belanda. Tersebut merupakan usaha rejim Soeharto dalam memberikan pembenaran bahwa tindakan represif militer yang selama ini dilakukan adalah demi kepentingan stabilitas rakyat juga. Keterikatan ABRI dalam politik terlihat yaitu pada prakteknya militer bukan saja di perbolehkan mengikuti dunia politik, melainkan juga ”bersama kekuatan sosial politik lainnya” terlibat dalam kehidupan kenegaraan, yang bersumber pada aspek legal empirik.  Militer secara kelembagaan atau individu terlibat dalam berbagai kegiatan seperti :

a)   Sebagai pilar Orde Baru, duduknya TNI di DPR melalui jalur pengangkatan meskipun bukan partai tetapi didasarkan atas Susduk DPR/MPR RI yang mengesahkan kedudukan tersebut.

b)   Sebagai stabilisator dan dinamisator, kehadiran politik TNI di wujudkan melalui Golkar. Disamping untuk menjamin berjalannya sistem demokrasi, politisi Orde Baru juga berusaha melahirkan kekuatan politik yang dominan.

c)  TNI bukan saja hadir di lembaga legislatif tetapi juga di eksekutif. Hal tersebut dapat dilihat dari TNI yang duduk pada jabatan kunci di pemerintahan, baik yang masih aktif maupun yang sudah purnawirawan.

d)  Dalam usaha menopang kesejahteraan keluarga TNI, Presiden Soeharto juga banyak memberikan kesempatan untuk berbisnis.

e)  Disamping tugas-tugas kekaryaan dan ekonomi, TNI juga memerankan fungsi modernisasi dengan ABRI masuk desa (AMD) pada daerah tertinggal dengan nama TNI.

Dominasi peran dalam dwi fungsi ABRI memang berada pada angkatan darat [46], hal tersebut terjadi karena sejarah panjang politik di Indonesia. Kegagalan kekuatan politik nasionalis melawan kekuatan politik Islam dalam pemerintahan Soekarno, telah menjadikan pamor kekuatan militer naik. yang di lakukan PKI pada tahun 1965, membuat angkatan darat menjadi mobilisator dari masyarakat untuk menghalau kekuatan PKI, telah membawa nama militer (AD) semakin dicintai pada saat itu. Terutama dari kalangan priyayi dan santri dalam usaha menandingi kekuatan komunis. Percaturan politik di Indonesia sejak tahun 1959 hingga terjadi perebuatan kekuasaan oleh PKI sangat didominasi oleh Soekarno sampai dengan hal-hal yang sangat sepele. Hingga Pada masa-masa akhir Orde Baru suara-suara ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah umumnya, dan terhadap dominasi militer yang dianggap sebagai alat pemerintah khususnya semakin kuat, yang pada akhirnya bergulir ke  permukaan dengan gelombang yang semakin membesar dan tidak terhindarkan dalam bentuk gerakan reformasi.  Seiring berjalannya waktu, dan setelah terjadi krisis ekonomi dan politik yang berlanjut pada krisis kepercayaan, muncullah gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa dan membawa dampak terhadap jatuhnya kursi kepemimpinan Soeharto yang mengatasnamakan Orde Baru. Dengan jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenannya pada tanggal 21 Mei 1998 maka berakhir pula pemerintahan Orde Baru karena Soeharto dianggap sebagai personifikasi Orde Baru.




  1. Hubungan Militer Dan Politik Masa Reformasi
Demonstrasi yang melahirnya era reformasi tahun 1998 mendesak ABRI merombak struktur internal organisasi. Langkah awal yang dilakukan adalah dengan mengganti nama ABRI menjadi TNI, kemudian diikuti dengan langkah melikuidasi beberapa organisasi di TNI seperti Badan Pembinaaan Kekaryaan (Babinkar) yang di era Orde Baru mengelola penempatan ABRI dalam struktur pemerintahan sipil, melikuidasi Kepala Staf Komando Teritorial (Kaster) TNI, serta melikuidasi Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas) yang membuat militer mengontrol kehidupan politik. Reformasi yang bersifat demokrasi kemudian membuat peran ABRI di perwakilan rakyat DPR dikurangi secara bertahap dari semula yang berjumlah 75 menjadi 38 anggota, selain itu juga muncul regulasi politik dan kebijakan yang menata sistem keamanan nasional yang baru yaitu berupa pemisahan TNI dan POLRI pada April 1999 yang tertuang di dalam TAP MPR No. VI Tahun 2000 dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 yang mengatur tentang peran dan tugas TNI dan POLRI dengan tujuan agar tindakan POLRI menjadi profesional tanpa harus khawatir dengan adanya intervensi dari kepentingan militer. Masa reformasi juga mengurangi kedigdayaan Angkatan Darat(AD) dalam TNI yang saat Orde Baru Berkuasa jabatan strategis selalu diisi oleh TNI dari Angkatan Darat salah satunya jabatan Panglima TNI. Pergantian itu dilakukan oleh Abdurrahman Wahid yang terpilih sebagai Presiden dengan mengangkat seorang Marsekal Angkatan Laut (AL) sebagai Panglima TNI. Namun saat Presiden dipegang oleh Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Abdurrahman Wahid membuat jabatan Panglima TNI diisi kembali dari TNI Angkatan Darat. Namun Di penghujung pemerintahan Megawati, Megawati Mengesahkan Undang-undang 34/2004 tentang panglima TNI yang harus dijabat secara bergantian.
Dengan adanya regulasi yang membatasi militer didalam politik yang sudah diterapkan, banyak para anggota TNI yang memilih jalan lain untuk berperan dalam politik  yaitu dengan mengikuti pemilihan kepala daerah(pilkada). Ini dapat dilihat pada pilkada tahun 2004 yang diikuti oleh banyak anggota TNI yang sudah pensiun maupun yang masih aktif. Fenomena seperti ini karena disebabkan oleh tiga faktor, yaitu pertama regulasi politik yang masih belum sempurna dan memberi peluang kepada anggota TNI yang masih aktif untuk mengikuti pilkada dengan status anggota TNI non aktif sementara, meski dalam UU TNI Pasal 39 Ayat (4) sudah ditegaskan setiap anggota TNI aktif dilarang untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pilkada dan jabatan politis lainnya. Kedua kegagalan TNI dalam merubah paradigma TNI pasca reformasi 1998 mengenai ”TNI adalah tentara rakyat” yang lahir dari rakyat dan bersama rakyat, paradigma ini cenderung disalahartikan sebagai hubungan sipil dan militer dalam pertahanan negara. Sehingga dengan paradigma seperti itu TNI merasa selain berperan dalam pertahanan negara mereka juga harus memiliki peran di wilayah publik seperti ekonomi, sosial, budaya dan politik. Ketiga sedikitnya minat rakyat sipil yang mencalonkan kader partai politik dan Lemahnya partai dalam mencetak kader yang berkualitas, sehingga membuat partai politik berlomba-lomba mencari kader dari TNI yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. Peluang ini jelas dinantikan oleh para anggota militer yang mempunyai ambisi untuk bergabung ke dalam politik namun peluang politiknya tertutup oleh proses reformasi yang memangkas tradisi politik TNI.




1 komentar: